Opini : Kecil di Atas Kertas, Besar di Lapangan, TUKS PT SAS Aur Kenali dan Ancaman Sunyi Terhadap Ruang Hidup

Ir. Martayadi Tajuddin, MM *
Ir. Martayadi Tajuddin, MM *. Foto: Ist

Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM *

Pernyataan bahwa pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di Aur Kenali, Kota Jambi, tidak berdampak terhadap ketahanan pangan dan justru mendukung penataan ruang, tampaknya hanya memotret masalah dari satu sisi: sisi legal-formal. Argumen tersebut mungkin sah secara administratif, tetapi rapuh secara ekologis dan rentan secara sosial.

Bacaan Lainnya

Inilah paradoks pembangunan hari ini—yang legal belum tentu benar, yang formal belum tentu adil. Apa yang tampak kecil di atas kertas, sering kali menjadi ancaman sunyi di lapangan yang merayap tanpa disadari, hingga akhirnya meninggalkan luka ekologis yang dalam dan mahal untuk dipulihkan.

Tata Ruang: Antara Hukum dan Keadilan Spasial

Benar bahwa Pasal 34 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memperbolehkan revisi tata ruang dengan alasan strategis. Namun, teori “keadilan spasial” yang dikembangkan oleh Edward Soja menegaskan bahwa ruang bukan sekadar entitas fisik, melainkan manifestasi dari relasi kekuasaan, distribusi sumber daya, dan kepentingan antar aktor.

Pertanyaan kritisnya: Untuk siapa ruang itu diubah? Atas dasar kebutuhan siapa? Jika revisi RTRW hanya melayani kepentingan korporasi dan menyingkirkan fungsi ekologis serta keberlanjutan sosial, maka itu bukan penyesuaian ruang, tapi dekonstruksi nilai ruang publik.
Sebagai preseden, kota Palembang mengalami peningkatan banjir tahunan hingga 29% dalam kurun 2016–2021 akibat alih fungsi lahan rawa dan sempadan sungai untuk keperluan logistik dan industri (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2022).

Ketahanan Pangan: Lebih dari Sekadar Sawah

Argumen yang menyatakan bahwa kawasan Aur Kenali bukan lahan pertanian intensif, dan karena itu tidak relevan dengan ketahanan pangan, adalah bentuk reduksi makna yang serius. Ketahanan pangan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tidak hanya berbicara tentang produktivitas lahan, tetapi juga tentang ketersediaan, akses, dan keberlanjutan sumber daya pendukungnya, termasuk air, udara bersih, dan ruang hidup yang sehat.

Dalam kerangka pendekatan ekologi lanskap (Forman & Godron, 1986), wilayah seperti Aur Kenali—yang merupakan bagian dari koridor hidrologis dan resapan air perkotaan—merupakan tulang punggung bagi kelestarian sistem pangan secara tidak langsung. Menebang satu pohon di zona ini sama dengan mengeringkan akar pasokan pangan masa depan kota.

Hadi, S. (2019) dalam Jurnal Ketahanan Nasional UGM menunjukkan bahwa degradasi ruang hijau di zona penyangga pangan urban menurunkan kapasitas produksi pangan lokal hingga 42% dalam jangka 5 tahun.

Antara Legalitas dan Legitimasi Sosial
Bahwa proyek TUKS telah memiliki AMDAL, PKKPR, dan izin OSS bukan berarti ia telah mendapatkan mandat ekologis dan sosial. Banyak riset menunjukkan bahwa proses penyusunan AMDAL kerap menjadi formalitas, tanpa partisipasi berarti dari warga terdampak (Eko Teguh Paripurno, 2020).

Lebih jauh, menurut teori “Procedural Environmental Justice” (Schlosberg, 2007), proyek yang tidak melibatkan warga secara transparan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bukan hanya cacat prosedural, tapi juga menciptakan ketimpangan struktural dalam distribusi risiko lingkungan.

Kasus PLTU Teluk Sepang di Bengkulu mendapat AMDAL, namun akhirnya dihentikan karena penolakan massif warga, terbukti AMDAL disusun tanpa melibatkan masyarakat pesisir yang terdampak langsung (LBH Bengkulu, 2021).

Infrastruktur Energi atau Relokasi Masalah?

Narasi bahwa TUKS akan menyelesaikan masalah lalu lintas angkutan batu bara hanyalah bentuk relokasi beban konflik. Debu batu bara, suara bising, limbah kimia, serta gangguan air dan udara akan tetap muncul—hanya berpindah dari jalan raya ke permukiman padat dan kawasan yang seharusnya menjadi paru-paru kota.

Teori “Urban Metabolism” (Kennedy et al., 2007) mengajarkan bahwa kota adalah sistem terbuka. Bila satu subsistem, seperti zona resapan, terganggu oleh aktivitas industrialisasi ekstraktif, maka efek domino akan menghantam sektor lain seperti kesehatan, air bersih, dan pangan lokal.

Di Muara Enim, Sumsel, warga sekitar stockpile batu bara mengalami peningkatan ISPA sebesar 41% dalam dua tahun setelah stockpile beroperasi (Yayasan PELANGI, 2020).

Sinergi Pangan-Energi Bukan Zero-Sum Game

Integrasi antara sektor energi dan ketahanan pangan memang penting. Namun, integrasi tidak boleh dimaknai sebagai kompetisi. Sinergi sejati hanya mungkin terwujud jika dibangun dalam kerangka keberlanjutan dan partisipasi, bukan dalam semangat saling mendahului dan saling mengorbankan.

Prinsip One Health dari WHO dan FAO menekankan bahwa kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan adalah satu kesatuan. Bila salah satunya terganggu, seluruh sistem menjadi rapuh.

Ruang Adalah Nafas Kehidupan
Pembangunan sejati bukan sekadar menumpuk beton dan logistik, tetapi menata masa depan dengan nurani. Setiap proyek yang menyentuh ruang hidup masyarakat harus menjawab satu pertanyaan mendasar: Apakah ia memperkuat keadilan ekologis, atau justru memperlebar jurang ketimpangan dan kerusakan?

TUKS di Aur Kenali, sekilas mungkin tampak remeh dalam angka dan hektar, namun ia mencerminkan krisis tata kelola ruang yang semakin menjauh dari prinsip keberlanjutan dan partisipasi publik. Ruang hidup bukanlah halaman kosong untuk investasi, melainkan simpul kehidupan—tempat ekosistem, identitas lokal, dan hak generasi mendatang bertaut erat.

Kita membutuhkan keberanian kolektif; untuk meninjau ulang kebijakan ruang yang eksploitatif, memperkuat transparansi dalam setiap izin, serta mengarusutamakan partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan. Karena ruang adalah nafas kehidupan. Menjaga ruang, sejatinya adalah menjaga hak untuk hidup secara bermartabat—hari ini, esok, dan untuk selamanya. (*)

* Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah , Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Referensi Kunci:
• UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
• UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
• Soja, E. (2010). Seeking Spatial Justice. University of Minnesota Press.
• Forman, R.T. & Godron, M. (1986). Landscape Ecology. Wiley.
• Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
• Kennedy, C. et al. (2007). Urban Metabolism Studies in Cities. Journal of Environmental Planning.
• LBH Bengkulu. (2021). Kajian Hukum AMDAL PLTU Teluk Sepang.
• WALHI Sumsel (2022). Laporan Dampak Alih Fungsi Lahan di Palembang.
• Hadi, S. (2019). Ketahanan Pangan dan Fragmentasi Ruang Hijau Kota. Jurnal Ketahanan Nasional UGM.
• Yayasan Pelangi. (2020). Dampak Stockpile Batu Bara terhadap Kesehatan Warga Muara Enim.

Pos terkait