Jalan Senyap Rocky Candra Pulangkan Pekerja Migran asal Jambi dari Kamboja

rocky candra
Anggota DPR RI dapil Jambi, Rocky Candra

JAMBI, Angsoduo.net – Sebuah pisau pernah menempel di leher Farhan Abimahesa (19). Ia ditodong. Tubuhnya gemetar, jantungnya berdegup kencang, namun bibirnya memilih diam.

Pertanyaannya sederhana, “Kapan kami bisa pulang ke Indonesia?” Tapi bagi bosnya di Kamboja, kalimat itu adalah penghinaan. Ancaman langsung datang: hidup Farhan bisa berakhir seketika.

Bacaan Lainnya

Dalam sunyi yang penuh rasa takut itu, Farhan menyimpan sebuah doa, semoga ia bisa pulang. Bersamanya ada tiga orang sesama anak Jambi. Pranbana Kusuma (33), Fastika Dewi Samudra (23), dan Shendy Alfiansyah (21).

Mereka sama-sama terjebak dalam jeratan pekerjaan palsu, dipaksa bekerja di balik dinding besi, jauh dari tanah kelahiran.

Rabu, 20 Agustus 2025, pukul 18.30 WIB, doa itu terkabul. Mereka menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta dengan mata sembab, tubuh letih, dan hanya pakaian di badan.

Pesawat Air Asia dari Phnom Penh yang mereka tumpangi bukan sekadar membawa penumpang, tapi mengangkut pulang empat jiwa warga Jambi yang selamat dari ancaman perdagangan manusia.

“Awalnya janji cuma kerja satu tahun. Tapi kepulangan kami ditunda-tunda. Kalau menuntut, kami diancam mau disetrum listrik,” kata Farhan, lirih, ketika akhirnya bisa bicara di Tanah Air.

Janji Palsu dari Facebook

Kisah ini berawal Mei 2024. Fastika menerima tawaran pekerjaan lewat Facebook dari seseorang bernama Irgi Mhd. Percakapan pindah ke WhatsApp, dengan nama “Eno Corporation”.

Janjinya terdengar manis: pekerjaan marketing di Kamboja, gaji USD 800 per bulan, mess, makan, cuti dua kali sebulan, jam kerja 10 jam sehari.

Fastika yang kala itu membutuhkan pekerjaan tergoda. Ia mengajak dua saudaranya, Shendy dan Farhan, lalu bergabung dengan Pranbana.

Empat anak muda itu pun mengirim dokumen asli (ijazah dan akta lahir) ke Medan. Paspor mereka urus sendiri, tiket disediakan agen.

Perjalanan pun dimulai. Dari Pekanbaru ke Dumai, lalu diselundupkan lewat jalur laut ke Malaysia.

Dari Malaysia mereka diterbangkan ke Kamboja. Tapi yang menanti bukanlah kantor marketing, melainkan Poipet, sebuah kota di perbatasan Thailand-Kamboja yang dikenal sebagai sarang penipuan daring.

Hidup dalam Jeratan Scam

Di Poipet, disodorkan kontrak kerja satu tahun dipaksa ditandatangani. Kalau menolak, ada harga tebusan Rp48 juta dalam 24 jam. Kalau tidak sanggup, paspor dibakar.

“Mereka punya alat setrum listrik yang sering digunakan kalau karyawan tidak patuh. Suasana gedung dan lingkungan sekitar pun terisolir dari keramaian,” kata Shendy.

Hari-hari mereka pun berubah jadi neraka. Jam kerja 12-16 jam, tanpa libur. Handphone dilarang. Sakit pun tetap dipaksa bekerja, bahkan dengan infus menempel di lengan. Gedung dijaga portal besi, suasananya menyerupai penjara.

Desember 2024, mereka dipindahkan ke Kampong Som (KPS). Ketakutan kian pekat. Meski kontrak selesai Mei 2025, permintaan pulang ditolak. Ketika menagih janji, ancaman setrum jadi jawabannya.

Batin mereka sesungguhnya berontak. Nasionalisme mereka pun diuji. Bukan hanya karena rasa takut karena nyawa terancam, tapi juga diliputi rasa sedih menyaksikan sendiri sesama anak bangsa Indonesia yang pada akhirnya saling memangsa demi mengisi perut dan mencari pekerjaan.

Dari Kamboja, mereka dipekerjakan secara paksa untuk melakukan scam terhadap Warga Negara Indonesia di Tanah Air. Keterlibatan “oknum-oknum” WNI di Indonesia dalam melancarkan industri penipuan kolosal di negeri Kamboja itu pun mereka saksikan dengan mata kepala sendiri.

Kabur dengan Taruhan Nyawa

Pada 3 Agustus 2025, keberanian mengalahkan rasa takut. Mereka berempat, bersama empat pekerja migran asal Kalimantan Barat (Suhardi, Vivi, Ng Suna, dan Ferawati) nekat kabur.

Modusnya sederhana, berpura-pura mengambil pesanan makanan. Portal pertama lolos. Portal kedua pun berhasil dilewati. Segera mereka naik taksi menuju Phnom Penh. Malam itu penuh degup.

Namun ancaman baru datang. Perusahaan menyebarkan foto-foto mereka, memberi sayembara USD 20.000 (sekitar Rp300 juta) bagi siapa pun yang bisa menangkap mereka.

Setiap malam mereka pun berpindah hotel, dengan kondisi keuangan yang menipis, berhemat makan sekali sehari. Mereka khawatir jika tertangkap dan lalu dijual (TPPO) ke perusahaan untuk dipekerja-paksakan kembali.

Dalam beberapa hari itu, mereka terpaksa bersembunyi sambil menunggu harapan agar ada kemudahan mengakses KBRI.

Jalan Senyap Rocky Candra

Harapan itu datang dari Jambi. Seorang kawan menelepon Rocky Candra, Anggota DPR RI dari Dapil Jambi. Ia menyampaikan kabar pilu bahwa anak temannya, Fastika, kini jadi buruan di Kamboja. Ibunda Fastika menangis, meminta pertolongan.

Rocky bergerak cepat. Ia menghubungi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI). Kebetulan, Wakil Menteri P2MI, Dzulfikar Ahmad Tawalla, adalah sahabatnya sesama aktivis Pemuda Muhammadiyah. Selain itu, Rocky Candra juga berkoordinasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri di Kamboja untuk mencarikan solusi.

Koordinasi senyap digelar. Tanpa banyak publikasi, pemerintah dan jaringan diplomasi bekerja. Mereka pun segera dapat mengisi Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Secarik kertas itulah yang menjadi “jimat penyelamat” bagi WNI yang berada dalam situasi khusus dan membutuhkan dokumen perjalanan untuk kembali ke Indonesia.

Perlahan, delapan pekerja migran itu berhasil dievakuasi dari Phnom Penh, selamat dari ancaman buruan, hingga akhirnya berhasil tiba di Indonesia.

Rocky Candra mengatakan, kepulangan anak-anak muda Indonesia yang nyaris menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja itu membuktikan negara hadir memperhatikan nasib pekerja migran Indonesia.

Lebih lanjut, ungkap Rocky, Presiden Prabowo Subianto sering berpesan agar menjadikan politik sebagai wadah pengabdian untuk masyarakat. Dirinya pun teringat dalam upayanya menolong warga Jambi pulang ke Tanah Air, Prabowo pernah mengatakan,

“Kalau tidak bisa membantu banyak orang, bantulah beberapa orang. Kalau tidak bisa bantu beberapa orang, bantulah satu orang.”

Kader muda Partai Gerindra itu pun mengingatkan agar warga Jambi jangan mudah terperdaya oleh iming-iming untuk bekerja di luar negeri. Terlebih melalui jalur yang tidak resmi.

“Ikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku demi keselamatan nyawa,” ujar Rocky.

Pulang dengan Harapan

Bagi Farhan, Fastika, Shendy, dan Pranbana, pulang bukan berarti bebas dari luka. Trauma tetap ada. Tetapi jalan pulang membuktikan bahwa masih ada tangan-tangan yang peduli.

Rabu, 20 Agustus 2025, usai waktu maghrib, setelah keluar dari Terminal Kedatangan 2F Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, mereka sudah ditunggu oleh Tim Tenaga Ahli Rocky Candra dan Tim BP3MI Banten.

Empat pemuda Jambi itu pun diantar menggunakan mobil untuk menginap di kediaman Rocky Candra di Jakarta.

Kamis, 21 Agustus 2025, di pagi hari mereka kembali diantar ke Bandara Soekarno-Hatta terbang ke Bandara Sultan Thaha Saifuddin untuk pulang ke rumahnya masing-masing di Jambi.

“Kebaikan dan pertolongan kepada kami ini bukti hadirnya negara terhadap nasib anak bangsa, khususnya pekerja migran Indonesia,” kata Fastika.

Selain empat warga Jambi di atas, ada juga empat warga Kalimantan Barat (Kalbar) turut serta dibantu Rocky Candra pulang ke Tanah Air, yaitu Ng Suna (25), Vivi (27), Ferawati (25), dan Suhardi (28).

Keempat warga Kalbar itu dibawa ke Rumah Ramah shelter milik BP2MI untuk beristrahat, sebelum kemudian esok hari mereka pulang ke kampung halama mereka.

Jalan senyap Rocky Candra memulangkan warga Jambi dari Kamboja ini lebih dari sekadar penyelamatan. Ia menyingkap wajah kelam perdagangan manusia yang masih mengincar anak-anak muda Indonesia lewat janji-janji manis pekerjaan luar negeri.

Namun, di balik kegelapan itu, ada sinar kecil: keberanian korban untuk melawan, dan keberpihakan seorang wakil rakyat yang memilih turun tangan dalam senyap. (*)

Pos terkait