Bunda PAUD Hj. Hesti Haris: Anak SAD Berhak Dapat Pendidikan Sejak Dini

Bunda PAUD Hj. Hesti Haris: Anak SAD Berhak Dapat Pendidikan Sejak Dini
Bunda PAUD Hj. Hesti Haris: Anak SAD Berhak Dapat Pendidikan Sejak Dini. Foto: Diskominfo Provinsi Jambi

JAMBI, Angsoduo.net – Pemerintah Provinsi Jambi melalui Bunda PAUD Provinsi Jambi, Hj. Hesnidar Haris, SE (Hesti Haris), menegaskan komitmen untuk menghadirkan layanan pendidikan inklusif bagi seluruh anak, termasuk anak-anak dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD).

Hal ini disampaikannya dalam Podcast PAUD Inklusif untuk Suku Anak Dalam dengan tema “Meretas Jalan Masa Depan”, yang dipandu oleh Dieni Hefwi Darniza, Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda, dengan narasumber Bunda PAUD Provinsi Jambi serta akademisi dan aktivis Sobat Eksplorasi Anak Dalam (SEAD), Reny Ayu Wulandari. Podcast tersebut digelar di Ruang Podcast Dinas Pendidikan Provinsi Jambi dan ditayangkan melalui kanal YouTube Disdik Provinsi Jambi, Selasa (02/09/2025) pagi.

Bacaan Lainnya

Dalam keterangannya, Hj. Hesti Haris mengungkapkan bahwa ia bersama Pokja Bunda PAUD Provinsi Jambi dan Kabupaten Batang Hari baru-baru ini turun langsung ke Desa Hajran, Kecamatan Bathin XXIV, untuk melihat proses belajar anak-anak SAD. “Kami melihat semangat luar biasa anak-anak, mulai dari usia PAUD hingga SMP dan SMA, yang berkumpul untuk belajar. Ini sangat mengesankan dan menjadi bukti bahwa pendidikan adalah hak untuk semua,” ujar Bunda PAUD.

Hj. Hesti Haris menegaskan, pendidikan anak usia dini tidak hanya penting untuk kemampuan dasar membaca dan menulis, tetapi juga untuk pembentukan karakter. Hal ini dibutuhkan agar anak-anak SAD mampu beradaptasi dengan masyarakat luas ketika keluar dari komunitas mereka. Meski menghadapi berbagai tantangan, para pendidik tetap menunjukkan dedikasi tinggi.

Ada guru yang mendatangi rumah-rumah, memberikan pemahaman kepada orang tua tentang pola asuh dan kebersihan anak, bahkan menjemput anak langsung dari sudung (tempat tinggal sederhana dari terpal yang mudah dipindahkan). “Usaha para guru ini luar biasa. Hasilnya pun nyata, anak-anak SAD kini sudah mulai mengenal huruf dan angka, bahkan ada yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga sarjana dan bekerja,” tambahnya.

Hj. Hesti Haris juga menekankan pentingnya pendekatan inklusif dengan tetap menghormati adat istiadat SAD. Kehadiran waris sebagai penghubung sangat membantu agar interaksi berjalan baik dan selaras dengan kearifan lokal. “Dalam kunjungan tersebut, rombongan juga disambut dengan Tarian Elang, dipimpin oleh guru Mary Astuti (Ibu Tuti), yang dengan penuh pengabdian menyediakan lahan seluas empat hektar untuk sekolah dan tempat tinggal anak-anak SAD.

Kehadiran tokoh adat Temenggung Menah beserta keluarga juga menunjukkan keterbukaan komunitas SAD dalam menerima pendidikan dan interaksi dengan masyarakat sekitar,” jelasnya.

Sebagai bagian dari penguatan karakter, Hj. Hesti Haris terus mengampanyekan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Ia juga menegaskan bahwa kebiasaan ini harus dimulai bukan hanya dari anak-anak, tetapi juga dari teladan orang tua dan guru.

Di akhir sesi, Hj. Hesti Haris berpesan agar orang tua bijak dalam mendampingi anak di era digital.

“Jangan menyerahkan anak sepenuhnya pada gawai (gadget). Gunakan teknologi secara cerdas dan bijak, sambil tetap menjaga nilai dasar pembentukan karakter,” pesannya.

Sementara itu, Akademisi sekaligus Aktivis Sobat Eksplorasi Anak Dalam (SEAD), Reny Ayu Wulandari, menegaskan bahwa pendidikan bagi anak-anak SAD merupakan kebutuhan mendasar yang tidak bisa disamakan dengan pendidikan umum. Menurutnya, kurikulum dan metode pembelajaran harus menyesuaikan dengan kondisi sosial-budaya komunitas SAD, terutama bagi kelompok yang masih hidup berpindah-pindah (nomaden).

“Relawan sering kali harus membawa tenda sendiri agar kegiatan belajar tetap berjalan, baik ketika anak-anak berada di hutan maupun saat berpindah ke lokasi lain. Hal ini memang menjadi tantangan, tetapi sangat penting untuk memastikan mereka tetap mendapat akses pendidikan,” ujar Reny.

Ia menambahkan bahwa pendidikan inklusif bagi anak-anak SAD harus diarahkan agar bermanfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari. Jika pendidikan formal masyarakat umum berorientasi pada kuliah dan peningkatan kesejahteraan, maka bagi anak-anak SAD kebutuhan utama adalah kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, serta pembekalan karakter agar tidak mudah dimanfaatkan pihak luar.

Reny juga menjelaskan bahwa Suku Anak Dalam tidak bersifat homogen. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar: Bathin Sembilan yang sudah menetap, serta Orang Rimba yang masih hidup sebagai hunter-gatherer atau pemburu-peramu. “Orang Rimba masih berpindah-pindah, tinggal di sudung sederhana yang mudah dibongkar pasang, dan hidup dari hasil berburu serta meramu. Karena itu, pendekatan pendidikan bagi mereka harus lebih fleksibel,” terangnya.

Melalui SEAD, lanjut Reny, sejumlah program pendidikan telah dijalankan di desa binaan. Beberapa anak SAD berhasil mengikuti jalur pendidikan nonformal, mulai dari Paket A (setara SD) hingga tingkat SMP. Ada yang berkeinginan melanjutkan ke SMA, meskipun sebagian berhenti karena faktor budaya, seperti pernikahan usia muda.

“Memang ada tantangan dalam mendampingi mereka, karena tidak mudah mengintervensi budaya yang sudah mengakar. Namun yang terpenting adalah bagaimana pendidikan tetap berjalan, dengan menghargai tradisi mereka sekaligus membuka ruang bagi masa depan yang lebih baik,” pungkas Reny.

Pemerintah Provinsi Jambi berharap, melalui sinergi antara Bunda PAUD Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa, serta dukungan komunitas seperti SEAD, pendidikan inklusif bagi anak-anak Suku Anak Dalam dapat terus berkembang sehingga menjadi jalan terang untuk meretas masa depan mereka. (ndy)

Pos terkait